Senin, 25 April 2011

Narkoba Di Indonesia

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia,
jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada
umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.
Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap
candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang.
Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu
dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang.
Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan
Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane
Ordinance).
Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah
sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari.
Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu
hanya diperuntukkan bagi ekspor.
Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah
Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai
diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536).
Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai
efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan
tersebut.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan
yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya
(Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan
untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).
Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi
masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai
puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika
Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya
adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam
waktu yang hampir bersamaan.
Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan
membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71,
yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan
penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara,
yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan
subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-
Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka
pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang
Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang
peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi
korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan
rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.Sehingga disusunlah UU Anti
Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997.

Tidak ada komentar: